Thursday, March 24, 2016

Review: Century Healthcare Delivery


Pernah beli obat-obatan by phone dan diantarkan kurir di alamat tujuan? Awal pekan ini, saya mencoba fitur delivery dari salah satu apotik ternama, Century Healthcare.

Karena lagi promil, saya wajib konsumsi obat Profertil pada hari kedua menstruasi sebanyak dua tablet per hari hingga lima hari ke depan.

Biasanya saya membeli langsung di apotik RSB Asih seharga Rp200 ribuan per 10 tablet. Kali ini rasanya malas untuk pergi ke sana karena berbarengan dengan bentrokan driver taksi vs driver ojek apps based. Takutnya nggak ada yang narik.

Saya browsing kontak Century Healthcare di website resmi mereka. Saya cari kontak outlet Century terdekat, yakni di Citiwalk. Saya telepon untuk menanyakan stok obat tersebut. Hasilnya nihil! Tetapi, mbak Century dengan baik hati menyebutkan lokasi outlet yang masih menyediakan stok obat. 

Rekan kerja saya menyebutkan Century melayani delivery. Saya cek lagi website-nya dan menemukan kontak khusus delivery 14060



Telepon saya dijawab oleh mbak Lela. Obat Profertil bisa dipesan seharga Rp187 ribu per 10 tablet. Loh kok lebih murah dari apotik RSB Asih ya?

Karena pembelian saya di atas Rp50 ribu, saya dapat free ongkir. Mbak Lela menyampaikan obat diambil dari warehouse di Mampang sehingga lama pengantaran bisa 1,5-2 jam. Saya tidak masalah dengan durasi pengiriman obat.

Pembayaran dilakukan secara cash on delivery dengan kurir yang mengantar obat. Sekitar 1,45 jam kemudian, kurirnya tiba. Saat itu cuaca sedang tidak bersahabat dan dia sempat kehujanan.

Setelah menyerahkan uang, saya menandatangani struk tanda terima. Obatnya asli dan dikemas seperti saat kita berbelanja di outlet Century Healthcare.





Wednesday, March 23, 2016

Anniversary Trip to Yogyakarta

Saya dan suami berencana merayakan wedding anniversary ke-3 dengan berlibur. Tahun lalu, kami tidak bisa cuti karena rekan kerja saya sudah cuti duluan. 

Awalnya, kami berencana menginap di Padma Hotel, Bandung untuk dua malam. Tidak apa-apa hotelnya mahal, cost transportasi lebih murah, sesekali boleh dong.

Jelang pergantian tahun, saya iseng browsing hotel dan pesawat di aplikasi Traveloka. Saya menemukan tiket pesawat ke Yogya yang terbilang murah. Suami spontan bilang, kenapa ngga ke Yogya? Kan murah-murah tuh di sana.

Saya pun langsung booking tiket pesawat PP CGK-JOG untuk dua orang senilai Rp1,4 juta. Setelah membandingkan harga dan review di Traveloka, Rajakamar, Nusatrip, dan Pegi-pegi, jatuhlah pilihan pada Neo Hotel Malioboro.

Kami menghabiskan biaya hotel + pesawat sebesar Rp2,7 juta, jauh di bawah biaya menginap dua malam di Padma Hotel, Bandung.

Tidak sampai tiga bulan kemudian, kami pun berangkat menuju Yogya. Cukup unik karena pertama kalinya kami pergi ke Yogya berdua. Selama ini, perginya masing-masing dan urusan kerjaan.

Saya baru dua kali mengunjungi Yogya. Pertama kali saat perpisahan SMA pada 2005 sedangkan trip berikutnya pada akhir 2014. Itu adalah undangan liputan perayaan HUT JNE.

Seperti yang saya jelaskan di post sebelumnya, kami traveling ke Yogya nggak ngoyo, santai tanpa bergantung pada itinerary. Namanya juga wedding anniversary trip, quality time bareng pasangan yang menjadi prioritas.

Cuaca Yogya lagi mirip Jakarta, lagi musim hujan yang unpredictable. Paginya hujan, siangnya panas, jelang malam hujan lagi. Cuaca seperti ini tepatnya kelonan ya, cuaca mendukung abis.

Selama empat hari ke Yogya, kami menghabiskan waktu di sekitar Malioboro, Keraton, Taman Sari, dan Alun-alun Kidul. Nggak pengen ke candi-candi karena sudah pernah berkunjung sebelumnya.

Kami ke Alun-alun Kidul karena penasaran dengan becak berlampu warna-warni. Setelah jalan sore ke Keraton dan shalat di masjid dekat Alun-Alun Lor, kami menyewa becak Rp20 ribu untuk diantar ke sana.

Di Alun-alun Kidul sudah banyak becak parkir mengitari alun-alun. Belum lagi angkringan dan pedagang lainnya. Setelah santap malam yang hanya Rp36 ribu untuk seporsi nasi goreng magelangan, mie goreng jawa, dan dua gelas teh manis hangat, kami siap menjajal becak berlampu.

Mas-masnya buka harga Rp40 ribu untuk satu putaran, nggak bisa ditawar. Yo wes lah, bayar aja. Yang penting bisa ngerasin mengayuh becak hits se-Yogya.




Ternyata Malioboro belum berubah banyak. Masih banyak tukang becak yang menawarkan becak kisaran Rp5 ribu hingga Rp10 ribu ke lokasi bakpia dan Dagadu. Pada 2005 silam, saya ditawari naik becak cukup Rp2 ribu aja.

Saya sempat mendatangi Museum Benteng Vredeburg, yang berseberangan dengan Gedung Agung Yogyakarta atau dikenal juga sebagai Istana Kepresidenan. Cukup bayar tiket Rp2 ribu per orang, saya melihat-lihat diorama yang terawat baik, yang mengilustrasikan peristiwa bersejarah di Indonesia.








Setelah dari sana, kami menuju Keraton dan Taman Sari dengan becak. Tukang becak memberi harga Rp20 ribu dan nggak mau kurang dari itu untuk kedua lokasi tersebut.

Tiba di Keraton, dia berpesan supaya kami tidak berlama-lama. Hih, sorry ya. Ini kan risiko situ mengangkut kami. Kami membayar Rp5 ribu untuk tiket masuk per orang dan Rp1 ribu untuk handphone berkamera.





Saya sempat menyodorkan KTP karena dikira turis Malaysia atau Singapore. Kayaknya mata sipit suami menjadi pemicu, hehehe.

Siang itu, Keraton cukup ramai. Saya hanya ingin menuntaskan rasa penasaran. Kami hanya 30 menit di sana karena agak membosankan. Pertunjukan wayang kurang menarik karena berbahasa Jawa.

Setelah itu, tukang becak itu bertanya, mau ke Taman Sari lewat depan atau belakang? Kalau lewat belakang, bisa lihat lukisan dulu. Suami setuju untuk lewat belakang.

Pintu belakang itu ternyata masuk ke gang rumah warga, tidak jauh dari pintu gerbang depan. Kami kemudian diturunkan di sebuah rumah yang ternyata milik seorang pelukis.

Sialan, dikerjain nih! Kami hanya lihat-lihat sebentar dan segera bergegas ke Taman Sari. Ternyata, tukang becak licik ini sudah menyiapkan orang lain untuk mengantarkan kami ke pintu belakang Taman Sari, yang tidak sampai 5 menit berjalan kaki dari rumah si pelukis.

Orang lain ini bisa disebut pemandu wisata liar, yang terpaksa kami ikuti karena kelicikan si tukang becak ini. Kami nggak bilang mau untuk jasa si bapak guide ini. Kami dijebak sama si tukang becak!

Si bapak guide liar ini akhirnya dikerahkan sebagai juru foto, yang untungnya has good eye for photography. Kami juga nggak lama-lama di sana karena mengejar flight pulang. Saya akhirnya menyelipkan Rp20 ribu ke tangan si bapak guide ini.

Ketika mau pulang, dongkol sekali dengan tukang becak licik ini. Tadinya berniat akan ngasih lebih kalau dia mau antarkan sampai hotel. Gara-gara perilaku curangnya, kami hanya minta diantarkan kembali ke samping Gedung Agung, Maliboro dan saya kasih Rp25 ribu. Dia merengek minta dikasih lebih, saya lebih galak bilang itu udah dilebihin dari Rp20 ribu.

Coba ya dia nggak bertingkah, rejeki dia mengantarkan saya ke hotel nggak akan hilang. Akibatnya, dia nggak dapat banyak juga kan karena curang? Minta aja sana bagian dari si guide liar.




Oleh-oleh
Untuk membeli oleh-oleh, tujuan utama kami adalah Mirota atau yang sekarang bernama Hamzah Batik di ujung Jalan Malioboro. Konsepnya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan Krisna, Bali. 

Sepanjang Malioboro, tentu sudah hafal, banyak pedagang yang berjualan barang-barang dengan harga terjangkau. Saya pakai jasa tukang becak untuk mengantarkan ke Bakpia 99, yang pabriknya sama dengan Bakpia 23. Dari Jalan Dagen ke Bakpia 99 dan antar balik ke hotel, saya bayar Rp20 ribu.

Sekotak bakpia diharga Rp40 ribu isi 20 pieces. Kerupuk-kerupukan harganya mulai dari Rp30 ribu. Mahal sih untuk ukuran Yogya yang dikenal murmer. Mungkin saya harus belanja ke Pasar Beringharjo.

Kuliner
Yogya surganya kuliner murah! Selain harga makanan room service hotel yang terjangkau, gudeg dan angkringannya sangat ramah dompet.

Saya dan suami sudah bertekad akan menikmati gudeg sepuas-puasnya. Jelang makan siang, browsing lokasi Gudeg Yu Djum di Dagen, setelah Malioboro Mall. Harga seporsi nasi gudeg plus krecek dan telor hanya Rp10 ribu. 



Saya lebih suka Gudeg Pejompongan karena gudegnya basah dan dikasih sambel. Menurut saya yang asli Minang, Gudeg Yu Djum ini kemanisan. Tetapi, kami makan siang gudeg ini dua hari berturut-turut.

Malam hari kami berburu angkringan. Tanpa googling dulu, kami jalan menyusuri Malioboro, dikira akan banyak angkringan. Ternyata yang ada lesehan seafood yang nggak Yogya banget. Kami end up makan di Pizza Hut, Malioboro Mall.

Malam berikutnya dengan persiapan matang, kami jalan kaki ke arah yang berlawanan, menyebrangi rel kereta api stasiun Tugu, ke arah Jl Margo Utomo. Kami menuju angkringan Kopi Jos Lik Man, yang rave di blog-blog.

Di sekitar sana, banyak tenda angkringan di pinggir jalan. Kami telusuri satu-satu di Jl. Wongsodirjan, setelah lewati rel kereta belok kiri. Tibalah di depan angkringan dengan spanduk bertuliskan angkringan Kopi Jos Lik Man.

Saya lupa harga makanannya, yang jelas makan berdua plus teh manis panas hanya Rp25 ribu. Empat nasi kucing, enam gorengan, dan tiga tusuk sate telur dan bakso.




Hari terakhir di Yogya, kami makan siang di Kedai Angkringan Margo Mulyo, sepertinya satu-satunya kedai makan yang buka siang hari di Malioboro. Letaknya sebelum Mirota (Hamzah Batik) dan ketutupan pedagang di depannya.






Sempat mengira makan di sini akan mahal karena lokasinya di kawasan wisata. Dengan menu yang tidak jauh berbeda dari angkringan Kopi Jos Lik Man, makan berdua hanya Rp42 ribu dengan minum es susu coklat dan Nutrisari dingin.


***

Kami yakin suatu hari akan kembali ke Yogyakarta, dengan itinerary lebih serius.


Friday, March 18, 2016

Review: Neo Hotel Malioboro


Saya dan suami ingin liburan santai alias nggak ngoyo bikin itinerary selama di Yogya. Siasatnya, menginap di hotel yang tidak jauh dari pusat keramaian kota, yakni Malioboro.

Saya browsing hotel-hotel yang berlokasi di sekitar Malioboro. Jelas yang paling tinggi bintangnya adalah hotel Inna Garuda, yang tepat berada di jalan pintu masuk Malioboro (dari arah Jl. Pasar Kembang dan Jl. Abu Bakar Ali).

Rate hotel Inna agak nggak masuk budget kami, yang budget hotel cuma Rp500 ribu per malam. Kami ingin hotel yang punya kolam renang supaya kalau lagi bosan, bisa main air.

Pilihan pun jatuh pada hotel Neo yang berlokasi di Jl. Pasar Kembang. Saya baca review para traveler dari Traveloka, Tripadvisor, Agoda, dan Booking, hampir semua memberikan respon positif. 

Saya booking melalui Rajakamar karena rate-nya lebih rendah dibandingkan dengan Traveloka. Saya membayarkan Rp1,38 juta untuk tiga malam, sudah termasuk sarapan pagi untuk dua orang. Tipe kamar standard, double bed, dan non smoking.

H-5 jelang keberangkatan Rabu (9/3), saya kontak hotelnya untuk memastikan reservasi kamar. Reservasi sudah terdata, saya sekalian order pick up di bandara seharga Rp125 ribu. 

Hari H, saya dan suami tiba di bandara Adi Soetjipto jelang jam makan siang. Kami dijemput staf hotel bernama Andre, mengendarai mobil Honda Mobilio.

Selang 30 menit, kami tiba di hotel yang letaknya tidak jauh dari Malioboro. Sepertinya Malioboro bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari hotel. 

Senangnya lagi, di area hotel terdapat convenient store N-mart. Jadi, nggak perlu keluar hotel buat beli stok air mineral. 

Proses check in termasuk cepat. Saya tiba pukul 12.30 siang padahal kamar baru bisa dimasuki pukul 14.00. Berkat staf yang kooperatif, saya dan suami bisa mengakses kamar karena kamarnya sudah ready.

Kamar di lantai 5 sesuai request saya, termasuk pool view dan middle floor. Luasnya cukup lega untuk berdua, ada mini fridge, hairdryer, water heater, kopi, teh, gula low cal, krimer, dan dua botol air mineral.

Malam pertama, kami dibuat terbangun dini hari karena ada yang mengetuk pintu kamar sebanyak empat kali. Setelah memastikan saya tidak salah dengar, suami bangun dan mengintip melalui hole. 

Ternyata ada mas-mas yang mengira kamar kami adalah kamar temannya. Aneh sih ada orang non tamu hotel bisa naik ke lantai 5 karena lift dari ground floor hanya bisa diakses pakai access card kamar.

Hotel ini berlokasi tepat berhadapan dengan stasiun Tugu, Yogya. Risikonya, terdengar jelas suara kereta api. Oleh karena itu, pilihlah kamar yang terletak di middle floor. 

Kalau high floor, kebisingan bertambah dengan keriuhan lounge yang terletak di rooftop hotel.

Brekkie time! Kami turun sarapan di lantai 2, Noodles Now Cafe, pada pukul 07.30 pagi. Wow, the resto was already packed! Kami kebagian di outdoor area yang penuh asap rokok. Ugh, i hate it!

Well, menu sarapannya bervariasi: tradisional dan western style. Menu sarapan template saya kalau di hotel: kentang, baked beans, sosis, dan omelet. Kali ini minus baked beans. Rasanya not special sih, biasa saja.

Ada gudeg, pecel, jajanan pasar, bubur manis, salad bar, yogurt, mie kuah, waffle, oriental dish macam nasi goreng atau mie goreng/ bihun.

Resto ini juga yang melayani room service. Saya order dua porsi nasi goreng jawa yang harganya Rp20 ribu nett per porsi. Perlu waktu 45 menit dan dua kali telepon ke room service hingga nasi goreng diantarkan ke kamar kami. 



Kami juga sempat nongkrong di Sky Lounge pada sore hari. Ada area indoor dan outdoor yang cozy dengan kursi-kursi rotan putih. Harga makanannya ngga jauh beda kalau lagi nge-mall di Jakarta. Semangkok bakso, sepiring bakmi goreng, segelas lime squash dan segelas coke float, tagihan yang dibayar Rp123 ribu.



Jika ingin ke Malioboro, di depan hotel tersedia becak-becak yang sepertinya di-endorse Neo karena ada logo hotel pada becaknya. Kalau jalan kaki, bisa ditempuh kurang dari 5 menit.

Setelah tiga malam menginap di Neo Hotel Malioboro, saya puas dengan service-nya. Nggak ragu menginap ke sini kalau ke Yogya lagi. Sangat recommended buat yang ingin dekat ke pusat keramaian. 

Para staf juga ramah dan helpful. Resepsionis membantu saya memesan taksi menuju airport. Taksinya dari operator Pandawa dan argo dimulai dari Rp6.650. Biaya ke airport hanya Rp50 ribu saja.



Monday, March 7, 2016

Review: Sukamart

No more queue when doing monthly grocery shopping? Yes, go shop online!
Sukamart adalah salah satu supermarket online yang menawarkan banyak variasi barang, termasuk produk makanan-minuman impor. Berbeda dibandingkan supermarket online lainnya, Sukamart memiliki produknya sendiri alias bukan service membelikan barang di mitra supermarket.

Saya mengenal Sukamart sejak 2014 karena saya mencari penjual beras merah online. Saat itu, hanya Sukamart yang menjual beras merah yang trusted.

Ternyata, Sukamart adalah perusahaan asal Jepang, bagian dari Sumitomo Group yang berkantor di Gedung Summitmas 2, Sudirman.

Saya mencoba order untuk pertama kali. Barang yang dipesan tiba dua hari kemudian dan dikemas dalam kardus besar. Saya cukup puas dengan order perdana di Sukamart waktu itu bahkan dikasih kode voucher dengan minimum payment.

Setelah vakum belanja di Sukamart, saya kembali menyambangi website ini karena sedang mencari bahan masakan Korea. Saya menemukan gochujang, rice syrup dan apple cider vinegar, yang menjadi bahan utama saus chicken wings ala Korea. Harganya cukup terjangkau, yang jelas di bawah harga yang ditawarkan penjual di Tokopedia.

Tetapi, saya agak kaget begitu menyadari biaya delivery yang cukup mahal, yakni Rp20 ribu dan handling fee Rp4 ribu. Jauh di atas delivery HappyFresh yang hanya Rp15 ribu, same day delivery pula!




Kalau mau free delivery area Jabodetabek, harus belanja minimal Rp300 ribu dulu. Duileee! Zalora aja delivery fee Rp12 ribu!

Jadi, kalau nggak perlu-perlu banget belanja di Sukamart apalagi hanya printilan sedikit, sayang bener bayar delivery fee-nya.




Pros:
+ Punya 15.000 varian produk
+ Menjual produk-produk impor
+ Sering kasih diskon
+ Beragam pilihan rekening pembayaran transfer.
+ Packaging aman dan tersegel baik (ya iyalah bayar handling fee Rp4 ribu!)
+ Ada keterangan ketersediaan stok dan expiry date.

Cons:
- Delivery fee mahal bener Rp20 ribu!
- Not same day delivery