Monday, September 28, 2015

Review: The Intern


Saya jarang bikin review film karena pasti banyak yang lebih expert dalam mengulas film. Biasanya saya cuma komen, "it's a must see movie, very recommended," sort of.

Tetapi, saya merasa perlu membahas film The Intern ini karena sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari.

Alasan saya ingin nonton film ini adalah Anne Hathaway. Tanpa sadar, saya selalu menonton film yang dia bintangi. Sejak zaman Princess Diary, Brokeback Mountain, Ella Enchanted, The Devil Wears Prada, Bride Wars, Alice in Wonderland, Les Miserables, Batman Returns, hingga Interstellar.

Saya mengagumi wajah cantik Anne dan fashion sense-nya. Favorit saya, indeed, The Devil Wears Prada. She's perfect in portraying Andrea Sachs. Postur tubuh tinggi dan ramping, senyum lebar merekah, dan mata belo, bikin Hathaway sangat cantik mengenakan aneka pakaian.

Dalam The Devil Wears Prada, dia sangat chic dengan atasan kemeja putih dan dilapisi sweater lengan panjang, serta celana pantalon hitam. Aksesori topi, kalung, dan clutch. Trés chic!

Saat menonton trailer The Intern, saya tertarik karena kangen Hathaway berperan sebagai perempuan stylish seperti di The Devil Wears Prada.

Ditambah lagi ada Robert de Niro, yang saya notice main di Malavita, salah satu mafia kesayangan yang filmnya gak bosen ditonton berulang kali.

The Intern bercerita tentang pensiunan yang magang di perusahaan e-commerce masa kini. Terlihat jelas gap antara generasi X dengan generasi Y, dari cara berpakaian, stationary, dan tutur kata.

Persahabatan terjalin antara anak magang dengan orang nomor satu di perusahaan tersebut, tanpa melihat usia dan latar belakang.

Hathaway berperan sebagai Jules Ostin, perempuan karier yang sukses dengan startup fashion yang dirintisnya dalam 18 bulan, fashion conscious, memiliki putri yang adorable, dan suami yang rela menjadi stay at home dad alias tidak bekerja kantoran.

Kehidupan Jules terlihat sempurna dan begitu diidamkan perempuan masa kini. Seorang istri yang dibebaskan suami untuk berkarier di luar rumah, memimpin perusahaan yang melejit dengan cepat, masih bisa bercengkrama dengan anak pada pagi sebelum berangkat kerja dan saat pulang ke rumah sore hari, memiliki suami yang sangat suportif dan rela mengurus rumah tangga dan menjaga anak selagi istri bekerja.

Potret idaman perempuan saat semua aspek kehidupan berjalan seimbang.

Ternyata, tiada gading yang tak retak. Kehidupan Jules nggak sempurna amat karena suaminya selingkuh dengan ibu teman anaknya.

Jules stress karena ingin pernikahannya tetap utuh sehingga siap melepas startup miliknya ke tangan CEO baru. Sang suami selingkuh karena merasa Jules menjauh dari kehidupan mereka, terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. What a marriage nightmare!

Robert de Niro sebagai Ben, dengan sikap wise dan kebapakannya, menjadi tempat curhat Jules, memberikan nasihat dan motivasi yang realistis dan tidak menggurui.

Bahkan Jules menyebut Ben sebagai my intern and best friend.

Sosok Jules begitu sempurna mendeskripsikan perempuan masa kini. I adore her, I want to be her. Minus the cheating part! Bagaimana menyeimbangkan peran sebagai seorang istri, ibu, dan pemimpin perusahaan.

Isu working mom masih hits di AS sana, bahkan ada scene ibu-ibu rumpi di sekolahan anak Jules, yang langsung nge-judge kalau Jules nggak bisa bikin guacamole dan cenderung beli jadi. Indonesia banget ngga sih?

Well, in my opinion, perempuan, apapun profesi pilihannya, berhak mengapresiasi dirinya sendiri dan level up her competency. And sure she needs support from her inner circle.

It's such a heart-warming movie, not that too much, you will feel tears and joy at the same time. This movie will leave you a big big smile :)

Friday, September 25, 2015

To Leave Your Comfort Zone

"Di dunia jurnalis, pindah haluan bekerja di corporate, is such a big deal,"

Sejak kelas II SMA, saya tahu saya ingin kuliah di jurusan ilmu komunikasi, lebih tepatnya adalah jurusan jurnalistik. Saya meyakini industri media adalah salah satu bisnis everlasting karena semua orang membutuhkan informasi, yang bisa disediakan oleh perusahaan media.

Oleh karena itu, saya sempat ingin masuk jurusan IPS karena akan kuliah di jurusan sosial. Orang tua bersikeras saya harus masuk IPA karena keduanya adalah lulusan jurusan IPS. Akhirnya, saya menuruti keinginan mereka untuk masuk jurusan IPA dengan persyaratan ketika kuliah, saya bebas memilih jurusan yang disukai.

Setelah lulus SMPB di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, saya menghabiskan waktu lima tahun menuntut ilmu di sana. Saya bersyukur bisa mendapatkan bekal ilmu dan pengalaman dari dosen-dosen, yang merupakan mantan wartawan. 

Saya lulus kuliah pada pertengahan 2010, langsung freelance di majalah remaja Hai selama tiga bulan. November 2010, saya diterima sebagai jurnalis di harian Bisnis Indonesia. Saya tidak ragu melamar ke Bisnis Indonesia karena meyakini perusahaan media ini mampu menggaji karyawannya dengan sangat layak.

Padahal, saya sempat ingin bekerja di majalah cewek, majalah lifestyle, yang nggak pake mikir sih. Tetapi, pengalaman saya magang dan freelance di Hai membuat saya berpikir ulang untuk bekerja di industri media lifestyle. Kerja keras banget! Banyak event yang harus diliput, apalagi weekend itu banjir acara.

Masuk ke Bisnis Indonesia, dengan background lifestyle, saya ditugaskan di desk mingguan yang notabene meliput lifestyle juga, tetapi ada faktor bisnisnya. Kurang dari enam bulan, saya dirotasi ke desk ekonomi sesungguhnya, yakni desk non bank, meliput industri asuransi.

Kemudian, desk non bank liputan multifinance dan dana pensiun, dirotasi ke desk bank selama empat bulan, dan tiga bulan terakhir di Bisnis Indonesia saya ditempatkan di Polda Metro Jaya.

Saya agak menyesal karena tidak sempat meliput di desk bursa dan makro, jantungnya pemberitaan Bisnis Indonesia. Tetapi, ketika bergabung di Bloomberg TV Indonesia, saya belajar tentang market, bahkan dari yang sangat pengalaman, yaitu suami sendiri.

April 2013, saya memutuskan hengkang dari Bisnis Indonesia dan mencoba bekerja di industri media televisi. Saya berpikir bahwa Bloomberg TV Indonesia akan menjadi unggulan karena TV internasional berbasis ekonomi-bisnis pertama di Indonesia and i will practice my English as well. Well, i thought..

Saya bertugas sebagai guest booker atau bisa disebut dialog producer karena saya bersama produser menentukan narasumber yang akan diundang ke studio dan meramu content dialognya. Such a stressful job back in those days!

Kalau tidak mendapatkan konfirmasi narasumber selama jam kerja, pekerjaan saya berlanjut sampai ke rumah dan bisa sampai pukul 10.00 malam. Belum lagi drama narasumber mendadak batal karena alasan bla bli blu. Kondisi panik tetapi harus tetap berpikir jernih mengontak narasumber alternatif atau menyusun ulang content jika harus mengganti topik dialog.

Pekerjaan ini membuat saya harus berpikir cepat dan kreatif. Selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah. Nggak ada waktu buat drama menyesalkan narasumber yang batal hadir atau terpaksa mengganti topik dialog. Chop chop chop!

Hingga suatu kondisi membuat saya terpaksa meninggalkan Bloomberg TV Indonesia pada pertengahan tahun ini. Saat itu, saya sudah beberapa kali interview di beberapa perusahaan tetapi masih abu-abu.

Pada akhir Juni 2015, saya dinyatakan diterima bekerja di suatu perusahaan yang bergerak di jasa keuangan sebagai Media & Investor Relations. Di saat bersamaan, salah satu TV juga tertarik merekrut saya sebagai asisten produser.

Saya dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik. Lanjut atau tidak berkarier di media. Jika tidak, saya harus melepas semua privileges sebagai jurnalis dan menghadapi dunia kerja sesungguhnya. Jika berlanjut, saya belum tahu lagi kapan akan mendapatkan kesempatan bekerja di korporasi.

Setelah berdiskusi dengan suami, yang sudah duluan menggantung ID Press dan bekerja di korporasi, saya memutuskan untuk menerima offering dari corporate tersebut. 

Sedih harus berpisah dari dunia yang selama ini saya impikan sejak SMA. Dengan menjadi jurnalis, saya berkesempatan bertemu orang-orang penting, menjalin networking dengan birokrat, jalan-jalan ke luar negeri, liputan dari hotel ke hotel, bahkan menemukan jodoh saya.

Banyak rekan jurnalis yang sering mendapatkan tawaran bekerja di korporasi non media, menolak tawaran tersebut karena terlanjur keasikan bekerja di industri ini. 

But i refuse to be one of them. 5 years are quite enough for me. Now, it's time to challenge myself to enter the new world, the corporate world. And it's obviously different in any aspects. But i am sure i will survive and excel in this job.

Nggak jadi jurnalis, nggak bisa jalan-jalan ke luar negeri gratis? Insya allah, saya akan mampu traveling ke luar negeri with my own expense.

Pengalaman inilah yang juga menyadarkan saya bahwa saya sangat beruntung memiliki suami yang sangat suportif. Dia tidak pernah komplain saat tengah malam saya masih bekerja mengontak narasumber, hingga kini dia pun mendukung keputusan saya bekerja kantoran. 

Insya allah, pekerjaan baru ini membawa berkah untuk kami berdua dan keluarga besar. Amin.



Friday, September 18, 2015

Why Online Shopping?


I love online shopping, i do love it so bad! 
Jika ada yang memudahkan, kenapa harus mempersulit dan membuang banyak waktu?

Semakin ke sini, saya bisa membeli segalanya secara online. Saya pernah beli lingerie, panci, sayuran, beras, dan lain-lain via online! Tetapi, ada jenis barang yang pantang saya beli online, seperti underwear, celana jeans, dan gadget. Alhamdulillah, selama ini membeli sepatu tidak ada masalah, selalu muat sesuai ukuran kaki saya.

Jadi, kalau nge-mall ngapain dong? Saya nge-mall buat nonton film di bioskop dan makan. Menenteng kantong belanjaan kalau kebetulan ada sale, harganya such a good bargain, dan ada size-nya.

Kenapa belanja online? Karena harganya lebih murah dibandingkan dengan harga produk yang dijual di toko konvensional. Caranya, tahu kisaran harga di toko dan bandingkan dengan beberapa toko online atau e-commerce. It takes time but you can get very good bargain if you compare it.

Yang teranyar, saya membeli satu set headphone merek Phillips seri SHP 1900 di Blibli.com seharga Rp99 ribu. Sekarang harganya dibandrol Rp165 ribu. What a deal!


Uber cool headphone only Rp99 ribu!
Saya juga suka menjajal shopping experience dari e-commerce baru. Yang lagi promo gila-gilaan itu Matahari Mall, e-commerce punya Lippo Group. Kebetulan saya punya voucher Rp100 ribu untuk minimal belanja Rp300 ribu. 


Belanjaan isi hair dryer
Saya ngincar hair dryer karena belum punya. Akhirnya, saya menjatuhkan pilihan pada hair dryer Phillips seri NH-ND11 seharga Rp135 ribu. Lazada menjual seharga Rp144 ribu. Kebetulan Matahari Mall juga free ongkir seperti Blibli dan Lazada. 

Selain hair dryer, saya beli maskara Maybelline the Magnum Volum' Express seharga Rp22 ribu! Harga pasaran sekitar Rp65 ribuan. Mumpung diskon, sis!


Belanjaan saya di Matahari Mall seharga Rp204 ribu
Saya sering dibilangin "Belanja melulu," kalau paket saya datang. Dulu, saya cuek mencantumkan alamat kantor sebagai tujuan pengiriman order. Toh, temen kantor pada hobi belanja online. Kalau dikirim ke rumah, suka nangkring di pos satpam. Btw, saya kangen dengan sekuriti kantor lama karena mereka tidak nyinyir atau komen kalau saya terima barang belanjaan online.

Buat yang komen atau nyinyir setiap saya terima kiriman barang online dengan ucapan "Belanja melulu, sis!", shut up! I paid it with my own money, not even using credit card. 

"Belanja banyak, sis?" Shut up! Sama aja kalau elo belanja di toko konvensional, bisa beli beberapa jenis barang tetapi ditaruh di satu kantung plastik belanja. Kalau belanja di e-commerce, dalam satu invoice, barang bisa dikirim oleh lebih dari satu penjual. Jadi, barang pesanan akan dikirimkan satu-satu oleh seller berbeda. Yang dibeli cuma empat barang tetapi kirimannya datang sebanyak empat kali.

So, shut your mouth and feel the shopping experience by yourself! BHAY!

Tuesday, September 15, 2015

Bawa Bekal ke Kantor


Sejak kapan rutin bawa bekal makanan ke kantor? Sejak menikah. Saya menulis post ini karena terinspirasi postingan teman saya Icha di sini.

Saya akui ketika itu motivasi menyiapkan bekal untuk suami sebagai wujud rasa sayang seorang istri (newlywed) dan membuktikan bahwa saya mau kok berpanas-panas dan berkeringat di dapur.

Suami saya pun juga diledek oleh rekan sekantor. Maklum pengantin baru, biasanya nanti-nanti juga nggak akan dibekali lagi. Begitu kata cowok-cowok yang notabene sudah menikah juga. Curcol bener, mas?

Tetapi, saya bertekad membuktikan ledekan mereka salah besar. Hingga kini, setelah 2,5 tahun menikah, saya masih rutin membuatkan bekal makan siang dan sarapan untuk suami dan diri saya sendiri.

Berawal dari rasa sayang, bekal makan siang itu seolah sudah jadi bagian dalam keseharian. Dengan membawa bekal, saya worry free soal makan apa saat lunch break nanti. Selain itu, kualitas makanan lebih terjamin karena saya sendiri yang memasaknya. Tentunya lebih hemat dong!

Tetapi, ada kalanya saya memilih jajan dan makan di luar kantor. Biasanya kalau bahan makanan habis dan tidak sempat beli, pulang malam sehingga capek, atau emang niat mau lunch di luar kantor.

Saat masih kerja di stasiun TV, saya selalu kerja shift pagi. Kalau dijemput driver pukul 04.00 pagi, saya bangun pukul 03.00 pagi dan mulai memasak. Berangkat bareng suami, bangunnya pukul 04.00 pagi supaya bisa berangkat pukul 05.00 pagi.

Saya biasanya masak dulu, baru mandi. Soalnya, hawa panas kompor gas itu bikin melek, hehehe. Saya setting waktu memasak 15-30 menit supaya tidak terlambat. 

Saya sudah menyiapkan bahan-bahan masakan sejak malam. Menanak nasi juga saya lakukan malam hari, sekitar pukul 20.30-21.00 dan rice cooker on terus hingga pagi hari.

Apa yang saya masak dan siapkan sebagai bekal makan siang? Saya nggak jago-jago amat memasak. Masih level beginner dan serba instant. Kalau ada bumbu instant, ngapain ngulek? Begitu prinsip saya, hehehe.

Menu paling mudah adalah telor dadar dengan nugget atau sosis, nasi goreng, atau pasta dengan saus bolognese siap saji. Kalau rajin, saya masak sayur toge-tahu, tumis buncis-jamur, atau tumis sawi bawang putih. Kadang telur dimasak balado dengan sosis atau kentang.

Protein hewani? Ummm.. saya belum berani mengolah ayam atau daging. Hahaha. Kebetulan saya dan suami picky eaters sehingga nggak perlu repot.

As simple as that, saya nggak ambisius menyajikan makanan yang sehat dan bebas MSG. Aduh, itu ntar aja deh. Yang penting saya bisa membekali suami dan diri sendiri untuk makan siang.

Buat sarapan, yes, saya sarapan tidak di rumah supaya menghemat waktu. Sarapan ya dimakan di kantor. Kalau suami, saya bekali roti sedangkan saya prefer apel. Meskipun kadang sarapan lontong padang, bubur ayam, atau gorengan sungguh menggoda iman.

So, why not memulai membawa bekal ke kantor? Triknya, siapkan bahan-bahan sejak malam dan bangun lebih pagi. Pilih menu makanan yang praktis dan tidak memakan banyak waktu untuk persiapan dan memasak.

Bekal hari ini: nasi merah, tumis sawi bawang putih, sosis, dan nugget